Agama Islam Modern
Kamis, 21 Oktober 2010
Proses Islamisasi Di Indonesia
Rabu, 29 September 2010
Tentang Wanita Haid
Adapun jika seorang wanita haid sekedar lewat atau melintas (al-murur) di dalam masjid karena suatu keperluan, maka itu tidak apa-apa. Dengan catatan wanita itu tidak merasa khawatir akan mengotori masjid. Dalilnya, Nabi Saw pernah memerintah A’isyah untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid. Lalu A’isyah berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Rasul bersabda,”Sesungguhnya haidhmu itu bukan berada di tanganmu.” [HR. Muslim] Selain itu, ada riwayat lain bahwa Maimunah ra pernah berkata, “Salah seorang dari kami pernah membawa sajadah ke masjid lalu membentangkannya, padahal dia sedang haidh.” [HR. an-Nasâ’i).
Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya hukum syara’ dalam masalah ini telah jelas, yaitu wanita haid haram hukumnya berdiam di masjid. Adapun jika sekedar lewat atau melintas, hukumnya boleh dengan syarat tidak ada kekhawatiran akan mengotori masjid. Sebagian ulama memang ada yang membolehkan wanita haid berdiam di masjid asalkan ia merasa aman (tidak khawatir) akan dapat mengotori masjid, misalnya dengan memakai pembalut. Dalam Syarah al-Bajuri (jld. I, hal. 115), dikatakan, bahwa kalau wanita haid tidak khawatir akan mengotori masjid, atau bahkan merasa aman, maka pada saat itu tidak diharamkan baginya masuk masjid, tetapi hanya makruh saja.[v]
Menurut pemahaman kami, pendapat itu tidak dapat diterima. Sebab pendapat tersebut tidak mempunyai landasan syar’i yang kuat. Pendapat tersebut menjadikan “kekhawatiran mengotori masjid”, sebagai illat (alasan penetapan hukum) bagi haramnya wanita berdiam di masjid. Jadi, jika kekhawatiran itu sudah lenyap (dengan memakai pembalut), maka hukumnya tidak haram lagi. Padahal, hadits yang ada tidak menunjukkan adanya illat bagi haramnya wanita haid untuk berdiam di masjid. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa keharamannya dikarenakan ada kekhawatiran akan menajiskan masjid. Sehingga jika kekhawatiran itu lenyap (dengan memakai pembalut) maka hukumnya tidak haram. Tidak bisa dikatakan demikian, karena nash yang ada tidak menunjukkan adanya illat itu. Nabi Saw hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” Nash ini jelas tidak menunjukkan adanya illat apa pun, baik illat secara sharahah (jelas), dalalah (penunjukan), istinbath, atau qiyas.
Lagi pula nash tersebut bersifat mutlak, bukan muqayyad. Jadi yang diharamkan berdiam di masjid adalah wanita haid, secara mutlak. Baik wanita haid itu akan dapat mengotori masjid, atau tidak akan mengotori masjid. Memakai pembalut atau tidak memakai pembalut. Jadi, selama tidak ada dalil yang memberikan taqyid (batasan atau sifat tertentu) —misalnya yang diharamkan hanya wanita haid yang dapat mengotori masjid— maka dalil hadits tersebut tetap berlaku untuk setiap wanita haid secara mutlak. Hal ini sesuai kaidah ushul fiqh: Al-muthlaqu yajriy ‘ala ithlâqihi mâ lam yarid dalîl at-taqyîd “[Lafazh] mutlak tetap berlaku dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang menunjukkan adanya taqyid (pemberian batasan/sifat tertentu).”[vi]
Batasan Masjid
Setelah jelas wanita haid tidak boleh berdiam di masjid, maka pertanyaan berikutnya adalah, apa batasan masjid itu? Masjid adalah tempat yang ditetapkan untuk mendirikan sholat jama’ah bagi orang umum.[vii]
Yang dimaksud sholat jama’ah, terutama adalah sholat jama’ah lima waktu dan sholat Jum’at. Namun termasuk juga sholat jama’ah sunnah seperti sholat Tarawih dan sholat Idul Fitri atau Idul Adha. Di Indonesia, jika hanya untuk berjama’ah lima waktu tetapi tidak digunakan sholat Jum’at, tempat itu biasanya tidak disebut masjid, tapi disebut musholla, atau nama yang semisalnya, yaitu langgar (Jawa), surau (Sumatera Barat), atau meunasah (Aceh). Sedang istilah masjid atau masjid jami’, biasanya digunakan untuk tempat yang dipakai sholat Jum’at. Sebenarnya, semua itu termasuk kategori masjid, menurut definisi di atas. Karena yang penting tempat itu digunakan sholat berjama’ah untuk orang umum. Maka, terhadap musholla, atau langgar, surau, atau meunasah, diberlakukan juga hukum-hukum untuk masjid, misalnya wanita haid tidak boleh berdiam di dalamnya. Walaupun tidak dinamakan masjid. Adapun jika sebuah tempat disiapkan untuk sholat jama’ah, tapi hanya untuk orang tertentu (misal penghuni suatu rumah), maka tempat itu tidak dinamakan masjid, dan tidak diterapkan hukum-hukum masjid padanya. Demikian pula jika sebuah tempat hanya digunakan untuk sholat secara sendiri, bukan untuk sholat jama’ah, maka itu juga bukan dinamakan masjid.
Definisi di atas adalah definisi umum, yaitu untuk membedakan masjid dengan bangunan yang bukan masjid. Ada definisi khusus, yaitu masjid dalam pengertian tempat-tempat yang digunakan untuk sholat (mawadhi’ ash-sholat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud (mawdhi’ as-sujud).[viii]
Definisi khusus ini untuk membedakan berlakunya hukum masjid bagi sebuah kompleks bangunan masjid yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan atau ruang untuk berbagai keperluan. Sebab adakalanya sebuah kompleks masjid itu memiliki banyak ruangan, atau mungkin mempunyai dua lantai, mempunyai kamar khusus untuk penjaga masjid, mempunyai ruang sidang/rapat, toko, teras, tempat parkir, dan sebagainya. Bahkan ada masjid yang lantai dasarnya kadang digunakan untuk acara resepsi pernikahan, pameran, dan sebagainya. Apakah semua ruangan itu disebut masjid dan berlaku hukum-hukum masjid? Menurut pemahaman kami, jawabnya tidak. Dalam keadaan ini, berlakulah definisi khusus masjid, yaitu masjid sebagai mawadhi’ ash-sholat (tempat-tempat sholat).[ix]
Maka dari itu, teras masjid bukanlah masjid, jika teras itu memang tidak digunakan untuk sholat jama’ah. Jika digunakan sholat jama’ah, termasuk masjid. Demikian pula bagian masjid yang lain, misalnya ruang sidang, ruang rapat, kamar penjaga masjid, tempat parkir, dan sebagainya. Semuanya bukan masjid jika tidak digunakan untuk sholat jama’ah. Ringkasnya, semua tempat atau ruang yang tidak digunakan sholat jama’ah, tidak dinamakan masjid, meskipun merupakan bagian dari keseluruhan bangunan masjid.
Bagaimana andaikata suatu tempat di masjid (misalkan teras) kadang digunakan sholat jama’ah dan kadang tidak? Jawabannya adalah sebagai berikut. Yang menjadi patokan adalah apakah suatu tempat itu lebih sering dipakai sholat jama’ah, atau lebih sering tidak dipakai untuk sholat jama’ah. Jika lebih sering dipakai sholat jama’ah, maka dihukumi masjid. Jika lebih sering tidak dipakai, maka tidak dianggap masjid.
Yang demikian itu bertolak dari suatu prinsip bahwa hukum syara’ itu didasarkan pada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann). Dan dugaan kuat itu dapat disimpulkan dari kenyataan yang lebih banyak/dominan (aghlabiyah). Ini sebagaimana metode para fuqaha ketika menetapkan pensyariatan Musaqah (akad menyirami pohon) —bukan Muzara’ah (akad bagi hasil pertanian) — di tanah Khaybar. Mengapa? Karena tanah di Khaybar (sebelah utara Madinah) pada masa Nabi Saw sebagian besarnya adalah tanah-tanah yang berpohon kurma. Sedang di sela-sela pohon kurma itu, yang luasnya lebih sedikit, ada tanah-tanah kosong yang bisa ditanami gandum. Hal ini bisa diketahui dari riwayat Ibn Umar, bahwa hasil pertanian Khaybar yang diberikan Nabi kepada para isteri beliau, jumlahnya 100 wasaq, terdiri 80 wasaq buah kurma dan 20 wasaq gandum [HR. Bukhari].[x] Karena yang lebih banyak adalah hasil kurma, bukan gandum, maka akad yang ada di Khaybar sesungguhnya adalah Musaqah, bukan Muzara’ah.
Penjelasan di atas menunjukkan contoh kasus bahwa hukum syara’ itu dapat didasarkan pada kenyataan yang lebih banyak (aghlabiyah). Maka dari itu, ketika kita menghadapi fakta adanya teras masjid yang kadang dipakai sholat dan kadang tidak dipakai sholat jama’ah, kita harus melihat dulu, manakah yang aghlabiyah (yang lebih banyak/sering). Jika lebih sering dipakai sholat jama’ah, maka teras itu dihukumi masjid. Dan jika lebih sering tidak dipakai sholat jama’ah, maka teras itu dianggap bukan masjid. Wallahu a’lam
Akan tetapi sebenarnya yang menjdi masalah hanyalah pada darah haidnya bukan wanitanya.
Pada zaman era modern ini ada sebuah alat penyerapan air intuk dapat dipake kaum wanita untuk mencegah menetesnya darh kotor tersebut. Wallahu a’lam