Kamis, 21 Oktober 2010

Proses Islamisasi Di Indonesia

PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA
Semua penjelasan yg dibutuhkan manusia utk mengetahui meyakini dan mempercayai masalah-masalah tauhid kenabian dan hari akhir masalah halal dan haram telah dijelaskan Allah dan Rasul-Nya. Karena masalah-masalah tersebut merupakan masalah-masalah yg paling penting yg harus disampaikan oleh Rasulullah saw dgn jelas dan beliau telah menjelaskannya. Hal itu juga merupakan hujjah terbesar yg ditegakkan Allah bagi hamba-hamba-Nya melalui Rasul-Nya yg menyampaikan dan menjelaskannya kepada mereka. Kitab Allah yg diriwayatkan para sahabat dan tabi’in dari Rasulullah saw baik lafal maupun maknanya dan hikmah yg merupakan sunnah Rasulullah saw yg juga diriwayatkan dari beliau saw telah mencakup semua persoalan di atas. Dengan demikian jelaslah bahwa syar’i dalam hal ini adl Rasulullah saw telah menjelaskan semua hal yg dapat menjaga manusia dari berbagai kerusakan dan tidak ada yg lbh merusak manusia selain kekafiran dan kemaksiatan. Beliau telah memberikan penjelasan tersebut yg menggugurkan alasan utk tidak mempercayai beliau. Allah SWT berfirman “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum sesudah Allah memberikan petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yg mereka harus jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” . “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan utk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepada ni’mat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamu. Maka barangsiapa terpaksa krn kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” . ” selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adl Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” . “Katakanlah ‘Ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa yg dibebankan kepadanya kewajiban kamu adl apa yg dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya niscaya kamu mendapatkan petunjuk. Dan tiada lain kewajiban Rasul hanya menyampaikan .” . Abu Dzarr berkata “Rasulullah saw telah wafat dan tidak ada seekor burung pun yg mengepakkan sayapnya dan tidak menyampaikan ilmu kepada kita.” Di dalam shahih Muslim dikatakan “Sebagian orang-orang musyrik berkata kepada Salman “Nabi kamu telah mengajarkan kepadamu segala sesuatu hingga persoalan buang air.” Salman menjawab Betul demikian..” Berdasarkan hal di atas maka masalah-masalah tersebut adl pengetahuan-pengetahuan dan petunjuk-petunjuk yg pasti. Oleh krn itu orang yg hidup di Daar al-Islam dan dalam lingkungan keimanan ia tidak mempunyai alasan utk tidak mengetahui dan menentang perintah-perintah Allah tersebut. Imam as-Syafi’i mengatakan “Ilmu itu terdiri dari dua macam pertama ilmu umum yaitu ilmu yg pasti diketahui oleh seorang yg sudah baligh yg tidak hilang akalnya .. seperti salat lima waktu kewajiban puasa Ramadhan haji bagi orang yg mampu zakat harta diharamkannya zina pembunuhan pencurian dan khamr serta persoalan-persoalan lain yg masuk dalam pengertian ini yg telah diperintahkan kepada hamba-hamba Allah utk mengetahuinya dan mengamalkannya mentaatinya dgn jiwanya dan hartanya dan mencegah dari hal-hal yg telah diharamkan bagi mereka.” “Bentuk pengetahuan ini secara keseluruhan terdapat dalam kitab Allah dan diketahui secara umum di kalangan kaum muslimin orang-orang awam sekarang mengetahinya dari orang-orang terdahulu mereka meriwayatkan dari Rasulullah saw dan tidak ada pertentangan dalan cerita mereka dan tidak pula dalam hal kewajiban yg diperintahkan kepada mereka. Ilmu umum ini merupakan ilmu yg tidak mungkin salah dalam pemberitaannya dgn penafsirannya dan tidak boleh bertentangan dalam kasus ini..” Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan “Secara umum Allah dan Rasul-Nya tidak meninggalkan masalah halal-dan haram tanpa menjelaskan keduanya. Akan tetapi sebagiannya lbh jelas dari sebagian yg lain. Maka masalah yg keterangannya telah jelas terkenal di kalangan masyarakat dan diketahui secara umum sebagai ajaran agama sesuai kebutuhan tidak ada keraguan di dalamnyasehingga tidak ada pula alasan bagi siapapun yg hidup di negeri Islam utk tidak mengetahuinya.” Oleh krn itu ketika para ulama ushul memperbincangkan masalah ‘kebodohan’ yg dapat dijadikan alasan dan yg tidak mereka mengatakan bahwa kebodohan akan Pencipta Yang Maha Tinggi dan kenabian Muhammad saw merupakan kebodohan yg bathil yg tidak dapat dijadikan alasan berpaling dari Islam. Ketentuan-ketentuan syariat yg tidak mungkin menjadikan kebodohan terhadapnya dipandang sebagai alasan utk mengingkarinya secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian Pertama kebodohan dalam masalah pokok-pokok agama dan masalah-masalah akidah yg global seperti kebodohan orang kafir terhadap Dzat Allah SWT dan sifat-sifat kesempunaan-Nya serta kenabian Muhammad saw. Kedua masalah agama yg secara niscaya diketahui diikuti selanjutnya seluruh hukum syari’at yg telah diketahui dan tersebar di negara-negara Islam seperti salat zakat puasa haji haramnya zina pembunuhan khamr dan pencurian. Beberapa pejelasan mengenai masalah ini 1.Tidak ada alasan bagi kebodohan dalam pengakuan keislaman secara global dan kebebasan yg umum dari tiap agama yg ditentangnya. Maka tiap orang yg tidak memeluk agama Islam adl kafir baik sebagai pengingkaran maupun kebodohan. Ibnu Qayyim ra menjelaskan “Islam adl agama tauhid Allah ibadah hanya kepada-Nya yg tidak ada sekutu bagi-Nya iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengikuti ajarannya. Maka seorang hamba yg tidak melaksanakan hal itu bukanlah muslim jika ia bukan kafir krn ingkar maka ia adl kafir krn kebodohannya.” Tingkat tertinggi dari golongan ini adl orang-orang kafir yg bodoh yg tidak ingkar tetapi tidak adanya pengingkaran dari mereka tidak lantas mengeluarkan mereka dari kekafiran. Sebab orang yg kafir adl oang yg mengingkari keesaan Allah dan mendustakan Rasul-Nya baik krn keingkarannya maupun krn kebodohannya dan taklidnya kepada orang-orang yg mengingkarinya. 2. Kebodohan yg tidak dapat dijadikan alasan dalam masalah ini mensyaratkan adanya penegakan hujjah dan penyampaiannya seperti terwujudnya bentuk konkret secara syar’i dari penegakan hujjah seperti Daar Islam dan lingkungan ilmu dan iman tempat terdapat para da’i dari kalangan para ahli yg mengetahui Alquran dan sunnah sehingga masalah-masalah tersebut menjadi umum dan dikenal di kalangan kaum muslimin. Mengenai syarat ini banyak dalil-dalil Alquran dan sunnah yg menjelaskannya dan krn alasan kebodohan tetap berlaku bagi seorang hamba hingga hujjah Allah ditegakkan dan orang yg meninggalkannya akan dihukum sesuai dgn pelanggarannya. Allah SWT berfirman ” selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” . Firman-Nya yg lain “Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” . Pendapat yg mengatakan bahwa kebodohan dalam masalah-masalah yg besar ini yg dalil-dalilnya telah jelas tidak dapat dimaafkan secara mutlak meskipun belum ditegakkan hujjah adl tidak benar. Dalil-dalil Alquran maupun sunnah juga menolak pendapat tersebut. Ini merupakan mazhab imam-imam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan “Pokok-pokok agama yg telah dijelaskan oleh Allah dan ditetapkan dalam kitab-Nya adl hujjah dan krn itulah hujjah Allah adl Alquran. Maka orang yg telah mengetahui Alquran ia telah mengetahui hujjah.” Syekh Hamad bin Mu’ammar ra berkata “Setiap orang yg sampai kepadanya Alquran tidak ada alasan baginya utk meninggalkannya. Karena pokok-pokok besar yg merupakan pokok agama Islam telah dijelaskan oleh Allah di dalam kitab-Nya dan dengannya Allah menegakkan hujjah bagi hamba-hamba-Nya.” 3. Kebodohan orang-orang awam yg mengikuti dan bergabung dgn beberapa golongan yg sesat seperti golongan sufi yg sesat yg pada hakikatnya mazhab mereka adl kafir dan mengingkari pokok-pokok agama Islam yg sudah jelas. Golongan sufi yg sesat meyakini bahwa sampainya pada derajat keyakinan menjadikan kewajiban-kewajiban mereka gugur dan larangan-larangan dibolehkan bagi mereka. Mereka juga bependapat bahwa mereka tidak wajib mengikuti Nabi Muhammad saw. Imam al-Asy’ari di dalam ‘Maqaalat’nya mengatakan “Ada segolongan kaum yg berkeyakinan bahwa ibadah mereka telah sampai pada satu tingkatan yg menjadikan mereka tidak wajib menjalankan ibadah-ibadah yg lain dan perkara-perkara yg dilarang bagi orang lain seperti zina dan lain-lain dibolehkan utk mereka. Abu Muhammad bin Hazm mengatakan “Suatu golongan dari kaum Sufi menganggap bahwa di antara wali-wali Allah terdapat seseorang yg lbh utama daripada nabi-nabi dan rasul-rasul secara keseluruhan. Mereka mengatakan orang yg sudah mencapai puncak kewalian maka gugurlah semua kewajibannya seperti salat puasa zakat dan lain-lain dan dihalalkan untuknya perkara-perkara yg diharamkan seperti zina khamr dan lain-lain dan dgn alasan ini pula mereka membolehkan berhubungan dgn istri-istri orang lain. Dan mereka mengatakan “Kami melihat Allah dan berbicara dengan-Nya dan segala sesuatu yg kamu ucapkan dari hati kami adl benar.” Tidak diragukan lagi keyakinan seperti ini sangat bertentangan dgn syariat dan merupakan kekafiran terhadap Allah SWT. 4.Kebodohan orang-orang yg hidup di daerah terpencil mengenai sebagian amalan yg bercampur dgn ibadah selain kepada Allah. Kesimpulan yg dapat diambil berdasarkan penjelasan di atas adl bahwa kebodohan atau ketidaktahuan dalam masalah agama dan orang bersangkutan tidak dapat menghindarinya maka kebodohan itu dapat dijadikan alasan dan dimaafkan sampai datang penjelasan agama baginya. Dalam konteks ini tidak dapat dibedakan apakah kebodohan itu mengenai masalah-masalah agama yg sudah jelas dalil-dalilnya ataupun masalah-masalah lain yg tidak dikenal secara umum . Arus utama dalam pembicaraan di sini adl tentang tegaknya hujjah syar’iyyah dan kemungkinan mendapatkan ilmu tentang agama dan mencapai pemahaman terhadapnya. Syekh Muhammad Shalih al-Utsaimin mengatakan “Kebodohan sebagai alasan telah ditetapkan bagi hamba Allah krn Allah telah befirman ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yg harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu’. “ . Rasulullah saw bersabda “Demi Dzat yg diriku berada di tangan-Nya tidak ada seorang pun dari umat ini yg mendengar tentang diriku baik yahudi maupun Nashrani kemudian ia tidak beriman kepada apa yg aku bawa tidak lain ia adl termasuk penghuni neraka.” Nash-nash yg menjelaskan masalah ini banyak kita temukan. Dengan demikian orang yg tidak mengetahui agama ia tidak akan disiksa krn kebodohannya dalam masalah apa pun dari agama ini.

Rabu, 29 September 2010

Tentang Wanita Haid

Yang dimaksud berdiam (al-lubtsu, atau al-muktsu) artinya berdiam atau tinggal di masjid, misalnya duduk untuk mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Tidak ada bedanya apakah duduk atau berdiri. Berjalan mondar-mandir (at-taraddud) di dalam masjid, juga tidak dibolehkan bagi wanita haid.

Adapun jika seorang wanita haid sekedar lewat atau melintas (al-murur) di dalam masjid karena suatu keperluan, maka itu tidak apa-apa. Dengan catatan wanita itu tidak merasa khawatir akan mengotori masjid. Dalilnya, Nabi Saw pernah memerintah A’isyah untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid. Lalu A’isyah berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Rasul bersabda,”Sesungguhnya haidhmu itu bukan berada di tanganmu.” [HR. Muslim] Selain itu, ada riwayat lain bahwa Maimunah ra pernah berkata, “Salah seorang dari kami pernah membawa sajadah ke masjid lalu membentangkannya, padahal dia sedang haidh.” [HR. an-Nasâ’i).


Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya hukum syara’ dalam masalah ini telah jelas, yaitu wanita haid haram hukumnya berdiam di masjid. Adapun jika sekedar lewat atau melintas, hukumnya boleh dengan syarat tidak ada kekhawatiran akan mengotori masjid. Sebagian ulama memang ada yang membolehkan wanita haid berdiam di masjid asalkan ia merasa aman (tidak khawatir) akan dapat mengotori masjid, misalnya dengan memakai pembalut. Dalam Syarah al-Bajuri (jld. I, hal. 115), dikatakan, bahwa kalau wanita haid tidak khawatir akan mengotori masjid, atau bahkan merasa aman, maka pada saat itu tidak diharamkan baginya masuk masjid, tetapi hanya makruh saja.[v]

Menurut pemahaman kami, pendapat itu tidak dapat diterima. Sebab pendapat tersebut tidak mempunyai landasan syar’i yang kuat. Pendapat tersebut menjadikan “kekhawatiran mengotori masjid”, sebagai illat (alasan penetapan hukum) bagi haramnya wanita berdiam di masjid. Jadi, jika kekhawatiran itu sudah lenyap (dengan memakai pembalut), maka hukumnya tidak haram lagi. Padahal, hadits yang ada tidak menunjukkan adanya illat bagi haramnya wanita haid untuk berdiam di masjid. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa keharamannya dikarenakan ada kekhawatiran akan menajiskan masjid. Sehingga jika kekhawatiran itu lenyap (dengan memakai pembalut) maka hukumnya tidak haram. Tidak bisa dikatakan demikian, karena nash yang ada tidak menunjukkan adanya illat itu. Nabi Saw hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” Nash ini jelas tidak menunjukkan adanya illat apa pun, baik illat secara sharahah (jelas), dalalah (penunjukan), istinbath, atau qiyas.

Lagi pula nash tersebut bersifat mutlak, bukan muqayyad. Jadi yang diharamkan berdiam di masjid adalah wanita haid, secara mutlak. Baik wanita haid itu akan dapat mengotori masjid, atau tidak akan mengotori masjid. Memakai pembalut atau tidak memakai pembalut. Jadi, selama tidak ada dalil yang memberikan taqyid (batasan atau sifat tertentu) —misalnya yang diharamkan hanya wanita haid yang dapat mengotori masjid— maka dalil hadits tersebut tetap berlaku untuk setiap wanita haid secara mutlak. Hal ini sesuai kaidah ushul fiqh: Al-muthlaqu yajriy ‘ala ithlâqihi mâ lam yarid dalîl at-taqyîd [Lafazh] mutlak tetap berlaku dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang menunjukkan adanya taqyid (pemberian batasan/sifat tertentu).[vi]

Batasan Masjid

Setelah jelas wanita haid tidak boleh berdiam di masjid, maka pertanyaan berikutnya adalah, apa batasan masjid itu? Masjid adalah tempat yang ditetapkan untuk mendirikan sholat jama’ah bagi orang umum.[vii]

Yang dimaksud sholat jama’ah, terutama adalah sholat jama’ah lima waktu dan sholat Jum’at. Namun termasuk juga sholat jama’ah sunnah seperti sholat Tarawih dan sholat Idul Fitri atau Idul Adha. Di Indonesia, jika hanya untuk berjama’ah lima waktu tetapi tidak digunakan sholat Jum’at, tempat itu biasanya tidak disebut masjid, tapi disebut musholla, atau nama yang semisalnya, yaitu langgar (Jawa), surau (Sumatera Barat), atau meunasah (Aceh). Sedang istilah masjid atau masjid jami’, biasanya digunakan untuk tempat yang dipakai sholat Jum’at. Sebenarnya, semua itu termasuk kategori masjid, menurut definisi di atas. Karena yang penting tempat itu digunakan sholat berjama’ah untuk orang umum. Maka, terhadap musholla, atau langgar, surau, atau meunasah, diberlakukan juga hukum-hukum untuk masjid, misalnya wanita haid tidak boleh berdiam di dalamnya. Walaupun tidak dinamakan masjid. Adapun jika sebuah tempat disiapkan untuk sholat jama’ah, tapi hanya untuk orang tertentu (misal penghuni suatu rumah), maka tempat itu tidak dinamakan masjid, dan tidak diterapkan hukum-hukum masjid padanya. Demikian pula jika sebuah tempat hanya digunakan untuk sholat secara sendiri, bukan untuk sholat jama’ah, maka itu juga bukan dinamakan masjid.

Definisi di atas adalah definisi umum, yaitu untuk membedakan masjid dengan bangunan yang bukan masjid. Ada definisi khusus, yaitu masjid dalam pengertian tempat-tempat yang digunakan untuk sholat (mawadhi’ ash-sholat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud (mawdhi’ as-sujud).[viii]

Definisi khusus ini untuk membedakan berlakunya hukum masjid bagi sebuah kompleks bangunan masjid yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan atau ruang untuk berbagai keperluan. Sebab adakalanya sebuah kompleks masjid itu memiliki banyak ruangan, atau mungkin mempunyai dua lantai, mempunyai kamar khusus untuk penjaga masjid, mempunyai ruang sidang/rapat, toko, teras, tempat parkir, dan sebagainya. Bahkan ada masjid yang lantai dasarnya kadang digunakan untuk acara resepsi pernikahan, pameran, dan sebagainya. Apakah semua ruangan itu disebut masjid dan berlaku hukum-hukum masjid? Menurut pemahaman kami, jawabnya tidak. Dalam keadaan ini, berlakulah definisi khusus masjid, yaitu masjid sebagai mawadhi’ ash-sholat (tempat-tempat sholat).[ix]

Maka dari itu, teras masjid bukanlah masjid, jika teras itu memang tidak digunakan untuk sholat jama’ah. Jika digunakan sholat jama’ah, termasuk masjid. Demikian pula bagian masjid yang lain, misalnya ruang sidang, ruang rapat, kamar penjaga masjid, tempat parkir, dan sebagainya. Semuanya bukan masjid jika tidak digunakan untuk sholat jama’ah. Ringkasnya, semua tempat atau ruang yang tidak digunakan sholat jama’ah, tidak dinamakan masjid, meskipun merupakan bagian dari keseluruhan bangunan masjid.

Bagaimana andaikata suatu tempat di masjid (misalkan teras) kadang digunakan sholat jama’ah dan kadang tidak? Jawabannya adalah sebagai berikut. Yang menjadi patokan adalah apakah suatu tempat itu lebih sering dipakai sholat jama’ah, atau lebih sering tidak dipakai untuk sholat jama’ah. Jika lebih sering dipakai sholat jama’ah, maka dihukumi masjid. Jika lebih sering tidak dipakai, maka tidak dianggap masjid.


Yang demikian itu bertolak dari suatu prinsip bahwa hukum syara’ itu didasarkan pada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann). Dan dugaan kuat itu dapat disimpulkan dari kenyataan yang lebih banyak/dominan (aghlabiyah). Ini sebagaimana metode para fuqaha ketika menetapkan pensyariatan Musaqah (akad menyirami pohon) —bukan Muzara’ah (akad bagi hasil pertanian) — di tanah Khaybar. Mengapa? Karena tanah di Khaybar (sebelah utara Madinah) pada masa Nabi Saw sebagian besarnya adalah tanah-tanah yang berpohon kurma. Sedang di sela-sela pohon kurma itu, yang luasnya lebih sedikit, ada tanah-tanah kosong yang bisa ditanami gandum. Hal ini bisa diketahui dari riwayat Ibn Umar, bahwa hasil pertanian Khaybar yang diberikan Nabi kepada para isteri beliau, jumlahnya 100 wasaq, terdiri 80 wasaq buah kurma dan 20 wasaq gandum [HR. Bukhari].[x] Karena yang lebih banyak adalah hasil kurma, bukan gandum, maka akad yang ada di Khaybar sesungguhnya adalah Musaqah, bukan Muzara’ah.

Penjelasan di atas menunjukkan contoh kasus bahwa hukum syara’ itu dapat didasarkan pada kenyataan yang lebih banyak (aghlabiyah). Maka dari itu, ketika kita menghadapi fakta adanya teras masjid yang kadang dipakai sholat dan kadang tidak dipakai sholat jama’ah, kita harus melihat dulu, manakah yang aghlabiyah (yang lebih banyak/sering). Jika lebih sering dipakai sholat jama’ah, maka teras itu dihukumi masjid. Dan jika lebih sering tidak dipakai sholat jama’ah, maka teras itu dianggap bukan masjid. Wallahu a’lam
Akan tetapi sebenarnya yang menjdi masalah hanyalah pada darah haidnya bukan wanitanya.
Pada zaman era modern ini ada sebuah alat penyerapan air intuk dapat dipake kaum wanita untuk mencegah menetesnya darh kotor tersebut. Wallahu a’lam